Fakir Profesional


       Kejadian beberapa minggu lalu cukup membuktikan  piagam lomba gak kepake buat daftar PTN, buktinya beberapa piagam yang aku sertakan waktu SNMPTN hanya dianggap  status kode yang cuma dilihat tanpa ada balasan dari doi awokawok. Setidaknya bukan cuma aku yang mengalaminya, masih ada banyak di luar sana yang bernasib sama. Medalis emas OSN Kebumian  yang rata-rata nilai rapornya 93 pun juga jadi korban. Bahkan, mereka yang punya piagam medalis internasional ditolak mentah mentah oleh perguruan tinggi dalam negeri. Ya Selamat datang di negara jenaka.

       Kejadian ini sama dengan kejadian tahun lalu, dimana ada medalis kimia internasional gak lulus seleksi yang biasa kebanyakan siswa sebut sebagai jalur untung-untungan. Bahkan, ada dari mereka yang buat petisi seperti di bawah ini.

       Mulai dari awal ikut SNMPTN sebenarnya udah optimis aku gak bakal lulus jalur ini. Alasan pertama karena nilai dari kelas X-XII gak stabil karena udah diniatkan dari awal untuk fokus ikut kegiatan “dispensasi” dan alasan kedua karena aku ngambil lintas jurusan. Dilihat dari kasus yang pernah terjadi memang aku sebenarnya layak kena seleksi alam di jalur ini. Kecewa pastilah, tapi juga gak heran sama hasilnya. Dan aku harap ini kegagalan terakhirku.
       Salah satu momen penyesalan dalam diriku ketika tanggal 21 April 2018. Hari yang identik dengan perjuangan penegakan emansipasi kaum wanita ini belum bisa aku manfaatkan sebagai emansipasi kaum yang dikhianati oleh negara. Kala itu, Menteri Riset,Teknologi, dan Perguruan Tinggi Indonesia, Bapak Muhammad Natsir berkunjung ke sekolahku. Menteri yang salah satu wewenangnya memang menetapkan peraturan-peraturan terkait seleksi masuk PTN. Kesempatan emas pun datang, sesi tanya jawab dibuka, satu pertanyaan sudah ku siapkan, aku pun maju, mencium tangan Bapak Muhammad Natsir, dan bertanya yang intinya, “Mengapa sih pak ada medalis Olimpiade Internasional gak lulus SNMPTN, padahal sudah membawa dan mengharumkan nama bangsa Indonesia ?” lalu beliau menjawab yang intinya “SNMPTN bukan Cuma dilihat dari satu sisi seperti piagam aja, tapi juga nilai. Mungkin siswa tersebut nilainya tidak mencukupi.” Mau bantah tapi takut. Itu betapa bodohnya aku kala itu. Bangke lah, andaikan waktu itu berani nyanggah mungkin hasil SNMPTN mereka tahun ini beda, mungkin.
       Heran aja sih sebenarnya dengan jalan pikiran bapak -bapak sekalian yang duduk di kursi LTMPT kenapa nggak ada apresiasi sama sekali. Entah, untuk hasilku kasus wajar lah orang Cuma piagam  tingkat RT, tapi bagi mereka yang sudah mewakili bangsa Indonesia dan mengharumkan nama bangsa miris banget. Mereka yang bawa nama Indonesia pasti ngorbanin banyak waktu, tenaga, bahkan teman dekat. Lewati jalur seleksi panjang yang mewakili sekolah, kabupaten, provinsi, dan Bangsa Indonesia. Bahkan, Belajar berbulan-bulan hanya untuk mendalami satu mapel. Ya walaupun ketika dia dapet medali intenasional kemungkinan dapet beasiswa dari universitas luar negeri, tapi apa salahnya PTN dalam negeri juga apresiasi perjuangan mereka lewat kelulusan jalur SNMPTN. Sebegitu sulit kah ? Selamat Berjalan Mundur Pendidikan Indonesia.
       Memang  piagam itu gaguna sama sekali tapi setidaknya perjuangan untuk dapet piagam itu sangat bernilai. Banyak pengalaman berharga di dalamnya. Setidaknya Aku bisa escape dari mata pelajaran yang gak disukai, jalan-jalan gratis ke luar kota, ke universitas-universitas terkemuka, membuat link pertemanan dari berbagai daerah, dan yang terpenting bisa  tidur dan makan di hotel berbintang gratis. Semua itu gak akan bisa aku dapatkan ketika aku hanya jadi murid yang terbudakkan oleh nilai di setiap mata pelajaran semata.
       Aku bisa belajar banyak dari kegiatan “dispensasi”. Salah satunya menemukan prinsip baru dalam hidup pada Bulan Agustus 2018. Ketika itu aku, 2 orang temanku, dan juga guru pendampingku, Bu Icha pergi ‘’dispensasi’’ ke Univertsitas Gadjah Mada. Beberapa hari sebelum berangkat sempat mengeluh karena kurang ada akomodasi dari pihak sekolah, seperti transportasi misalnya. Kami berempat harus berangkat ke Jogja pakai bus umum. Hmm, Sekolahku memang Favorit sekali, favorit dalam hal penghematan pengeluaran hiyahiyahiya. Otomatis kami sempat ngeluh karena kan kalo pakai bis sedikit repot. Sebenarnya sebagai kaum fakir udah biasa naik bus, tapi alangkah lebih baiknya kan sekolah punya mobil sendiri biar nyaman toh baik juga buat psikologis kami yang hendak perang. Padahal sekolahku sering banget ngirim anak-anaknya kegiatan ke luar kota, tapi gak punya mobil sendiri.Dan pada akhirnya sekolah baru punya mobil setelah kesempatan “dispensasi”ku habis. Asem lah
      Singkat cerita di Jogja aku mengenal salah satu nama, dia Githrif, Medalis Emas OSN Ekonomi Tingkat Nasional. Wajahnya oriental, postur badannya tinggi, suka pake baju kokoh. Pada kesempatan break ada segmen wawancara antara panitia dan peserta. Dan dia salah satu peserta yang diwawancarai. Lalu dia cerita kalau ternyata dia ke Jogja sendiri, tanpa ada dukungan sama sekali dari sekolah baik itu biaya maupun akomodasi. Aku langsung malu, betapa naifnya diriku yang masih mengeluh gara-gara transportasi padahal sudah ada usaha dan dukungan dari sekolah. Dari kisah ini, aku menemukan Prinsip hidup yang pertama kutemukan di jogja, belajar bersyukur.
       Prinsip kedua, belajar rendah hati. Pada suatu momen aku sempat tidak sengaja menguping pembicaraan ghitrif dengan teman lainnya dari beda sekolah. Ternyata dia juga tahu kalo ghitrif medalis emas, tapi ketika dia konfirmasi ke ghitrif, si ghitrif malah bilang, “Nggak, yang dapet medali bukan aku, tapi temenku. Salah orang kali, aku gak pernah ikut OSN.” Padahal dia memang medalis emas nasional. Ini pukulan telak sih bagiku, manusia  sampah yang suka pamer. Salut banget sama sifatnya ghitrif.
       Singkat cerita, Dia pulang dari Jogja kala itu bawa 2 piala sekaligus, keren. Sekadar informasi, tahun ini dia adalah 1 diantara 5 orang siswa terbaik yang mewakili Indonesia di International Economics Olympiad 2019. Congrats !
       Dari 2 prinsip itu kuciptakan frasa “Fakir Profesional”. Frasa itu menggambarkan bagaimana menjadi manusia fakir secara profesional dimana harus bersyukur pada segala kekurangan (kefakiran) dan ketika sudah berada diatas harus merasa fakir (rendah hati) serta ingat bahwa dulu juga pernah fakir.
      Cerita ini salah satu pengalaman dari beberapa pengalaman yang ada waktu “dispensasi”. Piagam bukan untuk melicinkan jalan menuju PTN, tapi mewarnai jalan menuju hidup yang selanjutnya. Gak ada yang disesali dari pengumuman beberapa minggu lalu. Coba lihat dari sudut pandang lain. Allah tahu jalan yang baik menaruh warna hidupku karena Allah Maharomantis.
       Terima kasih untuk setiap elemen di perjalanan hidupku. Terima kasih kepada Allah swt. Terimakasih untuk kedua orang tua yang selalu mendukung. Terima kasih untuk Bu Dyas yang sudah menuntunku untuk jatuh cinta dengan IPS sejak SMP, Terima kasih untuk Bu Icha dan Bu Eni yang membuat debit kredit seperti hal menyenangkan. Terima kasih untuk Mas Adit, Mahasiswa FE-UI yang membuat kurva-kurva seru untuk dibahas. Terima kasih rekan tim yang tidak bisa disebut satu persatu. Terima kasih Abil, teman kos yang setia bangunin jam 3 pagi dan mengantarku ke sekolah ketika hari “dispensasi”. Dan terakhir yang tidak kalah penting, terimakasih juga buat Titan, teman yang mengajariku bagaimana bolos ketika H-1 “dispensasi”. Terima kasih untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah. Terima kasih !

Aku, Agung SA
Stay Barbar and Classy !    


Komentar



  1. Bar bar banget coy, salut ama perjuangannya dan sanggup untuk jadi motivasi bagi gue kedepannya

    BalasHapus
  2. Wahhh makasih motivasinya , dapat salam dari papa saya ( pak heru guru olahraga smansa )

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer